Yang kayak Agnes Monica di Amerika itu banyak banget

Yang kayak Agnes Monica di Amerika itu banyak banget
arian13. ©2015 Merdeka.com/Arbi Sumandoyo


Darah seni memang mengalir pada Arian Arifin, tersohor dipanggil Arian13. Frontman grup band Seringai ini merupakan keturunan Sindoedarsono Soedjojono, pelukis legendaris di juluki "Bapak Seni Rupa Indonesia Modern". Arian memang hobi menggambar sejak Sekolah Dasar. Coretan hitam putih merupakan warna yang dia gemari. Dia pun mengaku menyukai warna itu karena memang bukan orang yang jago untuk mewarnai dengan berbagai warna.
Selain melukis dan masuk dalam salah satu tokoh Artwork, Arian13 juga merupakan vokalis grup band Seringai. Sebuah band rock indie yang masih terus konsisten memainkan musiknya dari panggung ke panggung. Boleh dibilang, bagi penggemar musik rock Indonesia, nama Seringai tak asing karena karya-karyanya menghentak pendengar untuk membanting rambut atau loncat dari atas panggung.
Bagi Arian, menjadi musisi dalam grup band Seringai hanya cukup untuk jajan sehari-hari. Dia pun ogah populer seperti artis kebanyakan yang bolak balik masuk layar televisi. Bagi Arian, seni adalah kebutuhan yang bisa mengubah diri seseorang. "Gue sih enggak ingin terlalu populer. Gue sih udah populer.. hahahaha," kata Arian saat berbincang dengan merdeka.com di kantornya Sunday Sunday, Jalan Kemang Selatan, kemarin.
Lalu bagaimana pandangan Arian soal banyak musisi Indonesia yang mencoba tenar lewat lagu-lagu berlirik bahasa Inggris. Bukan maksud merendahkan, namun Arian punya pandangan soal hal tersebut. Menurut dia, bisa jadi langkah yang dilakukan untuk go international kurang tepat. "Entah itu rilisan berbahasa Inggris atau bukan, toh ada beberapa band yang rilisannya bukan memakai bahasa Inggris tapi go internasional," ujarnya.
Berikut petikan wawancara Arian13 dengan Arbi Sumandoyo dan Mohammad Yuda Prasetya darimerdeka.com soal perkembangan musik Indonesia.
Bagaimana pandangan anda soal banyak musisi yang mencoba membuat lirik tidak berbahasa Indonesia ?
Ya pasti mereka punya harapan tertentu ya ingin dikenal secara internasional. Tapi menurut gue langkah-langkahnya, mungkin bisa jadi kurang tepat. Mungkin menurut gue kalao lo mau go international, langkahnya, kaya gini deh Indonesia pusat bisnis industri musiknya di Jakarta. Lo band dari luar daerah itu mungkin harus pindah dulu ke Jakarta, lo bikin sesuatu dan punya rilisan untuk satu Indonesia dan kemudian lo balik lagi ke daerah lo. Sama seperti di Indonesia. Mungkin nih pusat Industri musik ada di Eropa, Amerika atau Jepang, oh ya udah lo harus kejar ke situ untuk membuat rilisan.
Entah itu rilisan berbahasa Inggris atau bukan, toh ada beberapa band yang rilisannya bukan memakai bahasa Inggris tapi go international. Karena pertama karya mereka memang bagus, terus akhirnya mereka dapat distribusi Internasional. Udah. Maksudnya, gue mau go internasional, mau main di Amerika, main di ini, di ini. Lo mau maen di Amerika, di Chicago tapi orang enggak bisa beli CD lo buat apa juga. Lo mungkin bisa bawa ke sana, tapi bisa bawa berapa sih untuk dijualin dan lo manggung belum tentu semua orang juga bisa beli kan. Kalau lo sudah punya rilisan di sana, sama saja kaya di sini akan bisa go international.
Tapi banyak musisi yang tidak sukses membuat lagu berbahasa Inggris ?
Akhirnya kembali lagi ke karya kan. Akhirnya karyanya enggak gimana-gimana. Susah sih, misalnya kayak Agnes, dia mau go international dia kenalan dengan produser ini, A atau B, gue sih emang enggak ngikutin ya. Tapi yang gue lihat, yang kayak Agnes di Amerika itu banyak banget. Jadi untuk tembus ke sana memang susah. Jadi memang harus membuat sesuatu yang spesial. Tidak hanya memakai jeans dan batik di suatu kali begitu.
Intinya?
Ya warna musik atau ada sesuatu yang unik atau lo nemu sesuatu yang bisa menjadi hits, misalkan di mainstream, gitu. Kalau di musik Punk Rock atau Metal begitu, malah cenderung lebih, bukan mudah tapi network-nya, rilisannya lebih bisa dijual di Komunitas. Kalau lo biasa main atau networking dengan band lain itu sudah bisa, walaupun mungkin enggak terkenal di seluruh dunia.
Bagaimana dengan Seringai?
Kita belum sih, belum mencoba ke luar atau apa. Tahun depan sih ada rencana main di Australia atau Jepang, tapi itu lebih kepada main sambil liburan sih yah. Soalnya biayanya juga sendiri, jadi ya tiket ditanggung sama kita.
Bagaimana pandangan anda soal musik-musik Indie yang mulai redup?
Gue sih enggak ingin terlalu populer. "Gue sih udah populer" hahahaha. Maksudnya, gue kalau diajak ke TV begitu udah males sih, karena kalau TV gitu buat sound aja butuh keahlian khusus untuk musik. Kita kalau selalu tampil di TV itu enggak maksimal soundnya, karena memang ternyata, pas di studio udah bagus, ternyata gak pas masuk di TV. Mungkin ada orang yang bilang bagus, tapi anak-anak sendiri bilang, ini kayanya kurang ini. Intinya kurang suka.
Yang kemarin bagus itu pas kemarin main di Net TV, nah itu bagus sih karena orang-orangnya memang suka musik, kaya gitu. Itu membantu sih. Beda dengan kalau lo cuma kejar tayang misalnya.
Apa pandangan anda dengan perkembangan musik Indonesia?
Gue justru orang yang tidak banyak merhatiin sih sebenarnya. Paling yang berada dekat di lingkungan gue aja sih. Salah satu yang gue perhatiin itu yang bakal ngerilis album, Barasuara. Gue enggak punya televisi. Jadi gue enggak tahu.
Alasannya?
Enggak perlu. Menurut gue enggak ada yang perlu gue tonton. Gue tuh kalau nonton televisi kalau pas lagi manggung, gue dapet hotel terus di situ ada TV-nya. Itupun yang gue tonton National Geographic, kalau nggak film-film HBO. Tapi kalau acara-acara televisi mainstream emang gue enggak ngikutin. Paling kalau di sosial media lagi rame ada ribut-ribut, wah ini ada sesuatu yang baru.
Gue kadang tau lagu tapi enggak tahu yang nyanyi. Misal seperti di angkutan umum atau di toko-toko itu sering kan diputer lagu Indonesia, misal ini Afgan. Oh Ok. Memang gue enggak pernah ngikutin musik-musik yang begitu. Kecuali memang di lingkungan deket, kaya Barasuara. Gue juga sering nonton band lokal.

Share:

0 komentar:

Post a Comment